Oleh : M.Fadhli Dzil Ikram

Penyuluh Agama Islam Kecamatan Mundu

Menurut Islam, membangun keluarga dianggap sebagai faktor krusial dalam menjunjung tinggi martabat dan prestise manusia. Islam dengan tegas menolak adat istiadat keluarga yang melanggar martabat manusia, seperti yang telah menjadi kebiasaan komunitas Arab pra-Islam. 

Contoh praktik-praktik yang menjadi kebiasaan Arab Jahiliyah adalah mengubur bayi perempuan hidup-hidup, memperlakukan perempuan sebagai komoditas untuk diberikan sebagai hadiah, sebagai jaminan hutang, atau alat untuk jamuan makan. 

Selain itu, kebiasaan mewariskan seorang istri baik kepada kerabat laki-laki suaminya, memperbudak isteri dengan eksploitasi seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, menikahi anak perempuan sebelum mereka mencapai menstruasi,  memaksa anak-anak untuk menikah, dan menyita mas kawin dari wanita.

Islam tidak hanya menghapuskan tradisi keluarga tertentu, tetapi juga memberlakukan pembatasan keras pada orang lain. Misalnya, memberlakukan pembatasan jumlah istri dalam poligami, membatasinya maksimal empat, sambil memastikan kondisi yang adil dan mensarankan monogami dengan penekanan besar.

Konsep perceraian, yang sebelumnya tidak dibatasi, sekarang terbatas pada maksimal dua kali untuk merujuk pasanganya kembali. Selanjutnya, Islam memperkenalkan nilai-nilai baru untuk membentengi institusi keluarga. Misalnya, pernyataan bahwa pernikahan adalah perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizhan), arahan untuk bergaul dengan layak dan baik (mu'asyarah bil-ma'ruf) diantara suami dan istri, dan integrasi kebenaran dan keyakinan dengan perilaku di dalam rumah. 

Dalam Islam, perempuan diberikan berbagai hak, termasuk hak untuk mendapatkan waris, hak untuk membatalkan tuduhan suami mereka tentang perzinahan tanpa saksi, hak cerai gugat (khulu), dan banyak hak istimewa lainnya.

Sayangnya, sikap dan perilaku tidak manusiawi tertentu yang lazim selama era Jahiliyah masih dapat dijumpai sampai dengan hari ini. Contoh seperti perkawinan paksa, perkawinan anak usia dini, penelantaran anak dari kasus poligami dan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Sikap seperti ini dapat menimbulkan efek yang buruk dalam keluarga dan sulit membentuk perkawinan yang kokoh, bermartabat dan Sakinah (harmonis) untuk terwujud.

Calon pasangan suami istri harus memiliki dasar yang kuat dan pemahaman yang cukup tentang prinsip-prinsip kehidupan keluarga yang harmonis, sesuai dengan ajaran agama. Ini memerlukan strategi yang cermat, tujuan yang terdefinisi dengan baik, dan sumber daya yang cukup untuk memastikan pernikahan itu kuat dan mampu membina keluarga yang harmonis (sakinah).

Status Manusia sebagai Hamba Allah dan Khalifah

Setiap manusia, sebagaimana kodratnya sebagai seorang makhluk, secara inheren(melekat) dilahirkan dengan status sebagai hamba Allah. Namun, berbeda dengan makhluk lain, manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah, dipercayakan dengan tugas membina kemakmuran bumi. Manusia yang diberikan amanah ini akan terus melekat dalam dirinya sehingga perkawinan dan membangun keluarga tidak akan luntur.

Perkawinan bukan hanya demi memenuhi kebutuhan seksual secara halal, namun juga sebagai ikhtiar membangun keluarga yang baik. Keluarga berperan penting dalam kehidupan manusia baik secara personal, masyarakat dan negara. Keluarga adalah wadah untuk meneruskan keturunan dan tempat awal mendidik generasi baru untuk belajar nilai-nilai moral, berpikir, berkeyakinan, berbicara, bersikap, bertakwa dan berkualitas dalam menjalankan perannya di masyarakat sebagai hamba dan khalifah Allah.

Perkawinan sejatinya tidak hanya memenuhi Hasrat seksual secara halal, tetapi juga berusaha dengan sepenuh tenaga membangun keluarga yang baik. Keluarga memainkan pengaruh yang signifikan dalam aspek pribadi, sosial, dan negara dalam kehidupan manusia. Keluarga berfungsi sebagai sarana untuk meneruskan garis keturunan dan berfungsi sebagai platform awal untuk menanamkan prinsip-prinsip moral, pemikiran kritis, keyakinan, keterampilan komunikasi, perilaku, kesalehan, dan kompetensi dalam memenuhi tanggung jawab sosial mereka sebagai hamba dan khalifah.

Istilah "status sebagai hamba Allah" mencakup setidaknya dua pandangan yang berbeda.

Pertama, manusia sendiri dapat bertindak sebagai hamba Allah Semata. Mereka dengan tegas dilarang menjadi sasaran perbudakan oleh harta benda, status sosial, lawan jenis, atau kesenangan duniawi lainnya, baik oleh manusia atau ciptaan ilahi lainnya.

Kedua, manusia sebagai seorang hamba dilarang untuk melakukan perbudakan atas makhluk Allah lainya. Dalam hal ini, manusia hanya dapat menaati Tuhan, ketaatan mutlak hanya boleh diberikan kepada Allah dan ketaatan pada sesama makhluk hanya boleh jika tidak bertentangan dengan ketaatan kepada Allah.

Hal ini berarti bahwa ketaatan kepada sesama makhluk harus sejalan dengan ketaatan kepada Allah sehingga dilarang dalam hal maksiat dan kejahatan. Dalam al-Qur'an Surat al-Hujurat:13 Allah Swt menegaskan bahwa status sosial seseorang, baik itu di dalam keluarga maupun masyarakat, sama sekali tidak menentukan kemuliaannya sebagai hamba Allah. Satu-satunya ukuran mulia di hadapan Allah adalah ketaqwaan.

Untuk memenuhi tanggung jawab sebagai khalifah ini, laki-laki dan perempuan harus bekerja sama. Hal ini penting bagi keluarga, bangsa, dan masyarakat. Allah berfirman dalam QS. At-Taubah:71 :

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ٧١

Artinya : “Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.328) Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Keluarga seharusnya menjadi tempat berlindung yang paling aman dari berbagai permasalahan sosial yang muncul di masyarakat, antara lain seperti kekerasan, pergaulan bebas, korupsi, perdagangan manusia, narkoba, dan permasalahan lainnya, dalam rangka pencegahan kejahatan (nahi munkar). Keluarga tidak boleh berubah menjadi tempat yang buruk di mana hal-hal buruk seperti kekerasan dalam rumah tangga dan masalah sosial lainnya berkembang pesat. 

Keluarga harus mampu memberikan kepada masyarakat potensi keuntungan yang sebesar-besarnya dalam hal kebaikan yang bersifat memaksa (amar ma'ruf), baik secara materil maupun akhlak, serta melalui keturunan yang baik (dzurriyah thoyyibah) atau generasi yang unggul.