Tanggung Jawab Ilahi dan Insani dalam Perkawinan

 

Oleh : M.Fadhli Dzil Ikram

Penyuluh Agama Islam Kecamatan Mundu

Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim, misalnya perkawinan, pada hakikatnya mempunyai unsur ketaqwaan apabila dilakukan sesuai dengan keyakinan bahwa hal itu diridhoi Allah. 

Selain itu juga mencakup konsep muamalah karena bersinggungan dengan hak-hak orang lain, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, Allah menyebut pernikahan sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan). 

Istilah ini secara khusus disebutkan dalam tiga kesempatan dalam Al-Qur'an, yang secara khusus mengacu pada perjanjian yang dibuat antara Allah dan rasul-Nya. Rujukan pada Al-Ahzab/33:7 menandakan perjanjian yang dibuat antara Nabi Musa dengan kaumnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa/4:154.

Selain itu, penyebutan nazar perkawinan dapat ditemukan dalam QS. An-Nisa:21. Fakta ini menunjukkan bahwa di mata Allah, komitmen yang dibuat oleh sepasang suami istri dalam sebuah pernikahan sama kuatnya dengan perjanjian yang dibuat antara Nabi Musa dengan kaumnya, dan bahkan sama pentingnya dengan janji yang dibuat oleh Nabi Musa.

Oleh karena itu, pernikahan melibatkan pengakuan hukum dan ketaatan pada nasihat ilahi. Dalam perkawinan, baik suami maupun istri wajib memberikan penjelasan secara rinci atas setiap perbuatan yang dilakukannya, baik diketahui orang lain atau tidak, khususnya pada hari kiamat (Yaumul Hisab). Dalam Surat Yasin ayat 36:65, Allah berfirman :

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ٦٥

Artinya : “Pada hari ini Kami membungkam mulut mereka. Tangan merekalah yang berkata kepada Kami dan kaki merekalah yang akan bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Bahwa pada hari kiamat, Allah akan membungkam mulut mereka dan memerintahkan tangan dan kaki mereka untuk bersaksi melawan mereka, menyingkapkan ketidaktahuan mereka akan kewajiban suci pernikahan. 

Ayat ini menekankan bahwa pernikahan yang sukses hanya dapat dicapai bila suami dan istri memenuhi tanggung jawab mereka dan diketahui melakukan hal tersebut oleh pasangannya dan orang lain.

Bahkan tanpa adanya pengetahuan, individu dengan berani melakukan tindakan pengkhianatan tanpa rasa takut. Sebaliknya, kesadaran akan akuntabilitas kepada Tuhan memotivasi suami dan istri untuk menjaga kesejahteraan mereka, baik saat ada maupun tidak adanya pasangannya, karena mereka yakin bahwa Tuhan selalu menjaga mereka.

Kesetiaan timbal balik antara suami dan istri tidak semata-mata didasarkan pada keinginan salah satu pasangan, tetapi pada prinsipnya bermula dari kehendak Allah. Kewajiban kepada Allah dalam pernikahan juga terlihat dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis yang menekankan perlunya menjalani pernikahan dengan iman dan ketaqwaan.

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ

Artinya “....Bertaqwalah kalian semua kepada Allah dalam memperlakukan para istri. Sesungguhnya kalian telah meminang mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah....” (HR. Muslim).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا ١٩

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa.150) Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.”

Dengan memahami konsep dasar pertanggungjawaban Ilahi, pasangan suami istri diharapkan dapat menahan diri untuk tidak melakukan perceraian. Menurut sebuah hadis, Rasulullah saw menyatakan bahwa perceraian merupakan perbuatan mubah yang paling dibenci oleh Allah (HR. Abu Daud dan Hakim). Hadits ini menjadi peringatan kuat yang menekankan perlunya menjaga pernikahan dengan semangat dan kebajikan.

Kritik ini ditujukan tidak hanya kepada individu yang sudah menikah, namun juga kepada seluruh pihak yang terlibat dalam perkawinan, termasuk para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah terkait.

Agar suatu keluarga dapat diakui sebagai perkawinan yang sah, persatuan mereka harus mematuhi persyaratan hukum yang ditetapkan oleh negara tempat mereka tinggal. 

Hal ini penting karena pengakuan hukum perkawinan dalam peraturan perundang-undangan negara berdampak langsung pada hak dan tanggung jawab seluruh anggota keluarga di berbagai sektor kehidupan.

Jika perkawinan secara eksklusif diakui oleh hukum agama tetapi tidak oleh hukum negara, maka negara tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur tanggung jawab masing-masing pihak dan menjaga hak-hak kedua belah pihak dan keturunannya. 

Apabila suatu perkawinan tidak tercatat secara resmi dalam catatan negara, maka tidak akan tercatat dalam berbagai dokumen negara, antara lain akta kelahiran, kartu keluarga, KTP, ijazah, dan lain-lain.

0 Komentar